Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Bab 7 : Teratai emas menikmati kebahagiaan curian. Yun mengamuk di Kedai Teh.

Sambil menyerigai lebar ibu Wang mendekati Teratai emas dan berkata : “Aku akan membeli arak bagus di Yamen, jadi perlu waktu agak lama, harap temani tamu kita. Di guci masih ada sedikit anggur, ambillah bila cawan kalian kosong.
“Tak usah repot2” kata Teratai emas, tapi tetap diam ditempat.

Ibu Wang menutup dan mengunci pintu dari luar. Kemudian duduk dengan tenangnya diteras rumah sambil memintal benang. Kedua pasangan terkunci dalam kamar. Teratai emas menggeser kursinya sedikit. dan sambil sembunyi2 mencuri pandang pada Hsimen. Hsimen menatapnya lewat matanya yang penuh kerinduan.

“Apa nama margamu?”, akhirnya Hsimen bertanya.
“Wu”
“Ah Wu” Satu nama yang termasuk langka di keresidenan kita, Apakah Wu pedagang bakpao yang sering disebut sebagai si kerdil termasuk keluargamu?”

Teratai emas muka nya menjadi merah.

“Suamiku” jawabnya dengan tertunduk.
Hsimen terdiam, lalu tiba2 dengan emosi ia berteriak :
“Tidak adil!”
“Apa urusannya denganmu?” jawabnya sambil melirik dari samping.
“Bukan aku, tapi tidak adil bagimu”

Cepat ia memeluk Teratai emas, sambil mengeluarkan kata2 rayuannya. Lalu ia melepaskan jubah luarnya dan berkata pada Teratai emas :

“Tolong dong letakan jubah ini di ranjang nya ibu Wang” tanya Hsimen memohon.
Teratai emas melepas diri dari Hsimen.
“Kerjakan saja sendiri” jawabnya sambil mengigit gigit lengan bajunya.
“Baik, akan kukerjakan”

Ia mengulurkan tangan, melempar jubahnya ke ranjang ibu Wang lewat meja. Dalam kesempatan itu, ia dengan sengaja lengan bajunya menyenggol sumpit makan dari meja, dan jatuh bergulir kebawah rok nya teratai emas. Ketika ia akan menghadiahkan arak dan makanan pada Teratai emas, ia mencari sumpitnya.

“Apakah itu sumpitmu?” tanya Teratai emas tertawa sambil menginjak sumpit tersebut dengan kakinya,
“Ya benar!”, jawabnya pura2 bingung, lalu membungkukan tubuh, tapi tidak untuk memungut sumpit, melainkan untuk mengusap usap sepatu bersulamnya. Ia tertawa kegelian.

“Jangan begitu, nanti aku teriak”
Kemudian Hsimen menekuk lutut.
“Ampunilah aku” katanya, sambil tangannya merayap ke atas kaki teratai emas.

Mengeliat, kedua jari tangannya terbuka, ia beteriak :

“Ai, Manusia kurang ajar, nanti ku gampar kau!”
“Biarlah aku dibunuh oleh kedua tanganmu!”

Kemudian, tanpa memberikan kesempatan untuk membalas kata2 nya, ia memeluk Teratai emas dengan kedua tangannya dan meletakannya keatas ranjang ibu Wang. Disitu ia melepaskan ikat pinggang Teratai emas dan membuka pakaian nya. Kemudian mereka menikmati kebahagian berbagi bantal.

Mengingat Teratai emas pertama kali dimiliki oleh si tua ‘kantung uang’ Tschang yang sudah lemah, dan kemudian dinikahkan dengan si kerdil Wu yang tenaga nya tak seberapa, maka bisa dibayangkan kepuasan apa yang diperoleh Teratai emas dari Hsimen yang sudah berpengalaman dengan permainan bulan dan angin.

Awan sudah menumpahkan isinya. Ketika keduanya sedang berpakaian, tiba2 si nenek Wang muncul dari pintu. Pura2 kaget, ia memukul mukulkan tangannya sambil berteriak :

“Ai, ai, kok jadi begini!” sambil menengok kearah Teratai emas ia berkata :
“Aku memintamu untuk bantu menjahit, bukan untuk bermain serong. Paling baik adalah, bila aku langsung mengatakannya kepada suamimu, supaya aku tidak disalahkan. daripada nanti ia mendengar dari orang ketiga!” sambil berbalik akan keluar.

Teratai emas yang mukanya menjadi merah padam kemaluan, berkata sambil memegang rok nya erat2 :
“Ibu angkat”, kasihanilah aku!”

“Dengan satu syarat : Mulai hari ini, secara rahasia, kau harus melayani tuan Hsimen setiap saat. Apakah itu pagi, siang atau malam, bila aku memanggilmu kau harus datang. Kalau tidak, aku akan mengatakannya kepada suamimu.”

Dipenuhi rasa malu, Teratai emas tak dapat mengeluarkan kata2 dari mulutnya.

“Jadi bagaimana, jawab, cepat!” desak si tua Wang.
“Aku mau”, jawabnya hampir tak terdengar.

Kemudian si nenek Wang kepada Hsimen :

“Tuan besar, engkau sudah berhasil sepuluh per sepuluh bagian, ingat akan janjimu, kalau tidak…”
“Tidak masalah, Ibu angkat, aku pegang kata2 ku”
“Masih ada satu hal lagi” meneruskan si tua, “Penjelasan dari kalian aku sudah peroleh, tapi tanpa bukti nyata, tak ada harganya. Aku usulkan agar kalian masing2 memberikan tanda mata satu sama lain”

Cepat2 Hsimen meloloskan sebuah tusuk konde emas, dan menyelipkan nya di rambut Teratai emai yang terurai. Teratai emas mencabut tusuk konde tersebut dan menyembunyikan nya di lengan baju, karena ia kawatir terlihat suaminya.

Ketika giliran Teratai emas memberikan tanda mata, ia diam saja. Tapi ia tak dapat menghindari ketika nenek Wang merebut sapu tangan Hangtschou dari lengan bajunya, dan memberikan kepada Hsimen.

Setelah minum beberapa cawan, Teratai emas bangun dan permisi pulang lewat pintu belakang.

“Nah, hebatkan aku?” tanya ibu Wang kepada Hsimen ingin tahu.
“Luar biasa!. aku berhutang budi padamu”
“Dan, apakah ia pandai bercinta??”

“Oh, ia adalah putri kandung dewi nafsu….,tak dapat ku lukiskan dengan kata2”
“Jadi, jangan lupa dengan tanda terimakasih yang sudah dijanjikan”
“Sesampainya dirumah, langsung kukirim upah mu”

Si tua tertawa :
“Mudah2-an aku tidak harus menunggu sampai keluar dari peti mati untuk mengambil upah itu darimu”

Keesokan harinya ia menerima 10 potong perak yang berkilauan. Sudah menjadi pengalaman lama, bahwa uang membuat seseorang menjadi penurut.

Mata ibu Wang yang hitam bersinar sinar penuh kegembiraan memandang gemerlapnya uang perak. Tidak cukup hanya dengan berterimakasih, iapun cepat2 memanggil Teratai emas, meskipun ketika itu masih pagi dan suaminya masih berada dirumah.

Hsimen mengira seorang bidadari turun dari langit ketika Teratai emas muncul di Kedai teh. Mereka langsung duduk berdua, dengan lembut dan penuh rasa sayang. Hsimen mengambil kesempatan untuk memperhatikan kekasih nya, suatu kecantikan yang luar biasa bagaikan dewi bulan.

Ia merangkul dan menekankan ke dadanya. Karena itu rok nya tersingkap, memperlihatkan kaki kecilnya yang terbungkus sepatu brokat hitam. Dengan penuh kasih sayang mereka minum dari mangkuk yang sama.

“Berapa sih umurmu?” tanya Teratai emas sambil lalu.
“Tiga puluh lima”
“Berapa istrimu?”

“Selain istri utama, masih ada 3 atau 4 orang selir, tapi tak ada yang memenuhi seleraku”
“Dan berapa anakmu?”
“Hanya satu anak perumpuan, cepat atau lambat ia akan menikah dan keluar rumah”

Lalu ia mengeluarkan sebuah botol keemasan dari lengan bajunya yang berisi semacam ramuan dari teh dan zaitun. Ia mengambil sedikit dengan ujung lidahnya dan memasukan ke dalam mulut Teratai emas, mereka berpelukan erat satu sama lain.

Si nenek Wang cukup tahu diri, dan membiarkan kedua nya bermain cinta. ia hanya mengurusi arak dan makanan.

Sejak saat itu, Teratai emas setiap hari berada di rumah ibu Wang untuk mengadakan pertemuan romantis dengan Hsimen.

Belum ada setengah bulan berlalu, orang2 sekitar sudah memulai membicarakan kejadian dirumah Wang, Hanya satu orang saja yang belum tahu, yaitu Wuta.

Seorang pemuda bernama Yun, penjual buah langanan Hsimen, sedang berjalan sambil mengempit keranjang berisi buah pir yang berkilauan, ia ingin mengantar buah tersebut kerumah Hsimen. Ditengah jalan ia bertemu seseorang yang berkata padanya :

“Ai, Bila kau mencari Hsimen, aku bisa memberitahukanmu dimana ia sembunyi”
“Dimana, katakanlah padaku, Paman tua” desak Yun.
“Ia pasti sedang bersama nyonya Teratai emas di kedai teh Ibu Wang, pergilah kesana, kau pasti menemukannya.”

Yun mengucapkan terimakasih, sambil mengempit keranjang buah pir ia melanjutkan perjalanan menuju kedai teh ibu Wang. Tetapi di Kedai teh, ibu Wang tidak mengijinkan Yun bertemu Hsimen, dan malah memukulnya babak belur.karena Yun memaksa masuk.

Bersambung ke Bab 8

Karya : Lanling Xiaoxiao Sheng
Diterjemahkan Oleh : Aldi Surjana

By Aldi The

Penerjemah novel, salah satunya adalah Jinpingmei (金瓶梅; Jin Ping Mei; The Golden Lotus). Tinggal di Berlin, Jerman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?